Penuh warna, penuh tawa, dan penuh alunan indah, 100 menit yang mewah untuk saya pribadi. Adalah film Tangled (as known as Rapunzel) yang membuat saya merasakan kemewahan tersebut.

Pertama kali melihat posternya yang penuh warna saya sudah jatuh hati. Gadis cantik bermata bundar dengan gaun panjang dan rambut pirang ditemani pria, kuda, dan bunglon. Menarik! Maka di suatu hari di bulan desember, mengantrilah saya di depan mbak mbak penjaga karcis. Membeli 2 tiket lalu menuju studio 1, kursi 6F. Duduk manis saya menunggu kehadiran sang putri berambut panjang dalam layar. Lalu…huwoo saya terpesona, Disney telah menampakkan kemahirannya membuat CGI. Menampilkan gambar indah berwarna-warni, 100 menit yang membawa saya merasa tinggal di negeri dongeng.

Tangled berkisah tentang putri cantik dengan rambut super panjang yang memiliki kekuatan ajaib. Ia dikurung dalam menara tinggi, disembunyikan penyihir jahat yang terobsesi akan kecantikan fisik. Ditemani seekor bunglon sang putri menghabiskan 18 tahun kehidupannya dalam menara. Lalu suatu hari takdir membuat sang putri berambut panjang bertemu dengan pencuri mahkota (bukan seorang pangeran!) yang tengah kabur dari kejaran seekor kuda. Perjanjian terjalin antara dua mahluk yang tidak saling kenal itu. Sang pencuri berusaha mendapatkan kembali mahkotanya dan sang putri berusaha kabur dari menara tinggi.

Cliché! Lalu mereka saling jatuh cinta dan hidup bahagia. Tapi tunggu dulu, Tangled mengahadirkan kisah manis ini dengan balutan komedi slapstick yang hebatnya dapat dinikmati baik oleh anak-anak atau dewasa (seperti permasalahan antara pencuri dan hidungnya). Beberapa kali saya terbahak saat menikmati film ini. Hebatnya lagi film ini bukan hanya menghadirkan keindahan gambar dengan CGI memukau dan humor yang segar, tetapi juga mengahadirkan kisah yang menyentuh. Bertemakan impian, kasih sayang orang tua, dan cinta. Hangat. Itu mungkin salah satu kata yang mampu menggambarkan perasaan saya menonton film ini. Mungkin masih terdengar bias, hangat bukanlah kata yang berparameter jelas, tapi jujur saya merasakan kehangatan saat melihat perjuangan Rapunzel, gadis polos yang berjuang sekuat tenaga untuk menggapai mimpinya. Adegan saat Rapunzel berhasil mencapai impiannya membuat saya terharu setengah mati. Visualisasi sempurna antara kecantikan Rapunzel dan warna warni lampion membuat saya ternganga di kursi penonton. Adegan yang mungkin tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup.

Rapunzel membangkitkan kembali kemampuan saya untuk bermimpi, suatu hal yang mulai saya lupakan ditengah realita yang membuat saya harus bekerja cepat apabila tidak ingin terinjak. Bukan hanya Rapunzel, sang raja dan ratu juga memberikan kontribusi untuk rasa hangat yang saya dapatkan, kecintaan dan kesabaran mereka menunggu sang putri yang hilang selama 18 tahun tergambar dengan baik di film ini. Kemudian semua kombinasi ini semakin sempurna dengan kehadiran lagu-lagu indah sepanjang film. OH MY GOD, saya bagai bocah kerasukan yang menari nari girang menikmati alunan musik khas Disney yang ceria, manis, dan asik dibuat berdansa. Walaupun belum semelekat lagu Aladin di benak saya, namun saya menikmati sekali lagu-lagu yang ditampilkan dalam film Tangled. Lagu yang dinyanyikan oleh tokoh-tokoh dalam film ini berhasil memperkuat pendalaman karakter dari tokohnya. Rapunzel yang tidak mudah menyerah, bersemangat, dan polos. Penyihir yang picik dan para pria berbadan besar dengan wajah garang yang ternyata baik hati. Sejuta cinta untuk Mandy Moore dan para pengisi suara lainnya.

Menarik! Menarik! Film Tangled bukanlah film yang akan membuat anda tangled (kusut) setelah menontonnya. Walupun mungkin Anda akan sedikit bingung dengan panjang rambut Rapunzel yang sebenarnya karena selalu berubah hampir pada setiap scene. Tapi secara keseluruhan, untuk Anda yang menerima ketidakrasionalan kisah impian, untuk Anda yang menikmati tarian dan nyanyian dalam film, untuk Anda yang menyukai kisah manis asmara dua sejoli, Tangled dapat dijadikan salah satu film wajib tonton.

Enjoy movie, and sing along. Lalala~

Sabtu, 11 Desember 2010, 21:09

silahkan kunjungi tulisan saya, selain review film

http://latifadwiyanti.tumblr.com/

One word to describe what I feel about this movie. SWEET!

Ya, saya suka sekali film ini. Benar benar suka sehingga tidak menolak untuk menontonnya berulang kali. Jadi, 14 September 2010 ditengah waktu liburan saya yang makin menipis, saya meluangkan waktu untuk menonton film drama-komedi satu ini.

Dibuka dengan credit title bergaya after effect, saya tau saya akan kembali jatuh cinta dengan film ini.

Cerita berawal dari penerbitan sebuah buku bersampul pink dengan judul “Down With Love”. Buku ini menumbuhkan apa yang dapat dinamakan sebagai sebuah gerakan ‘girl power’. Hal ini ditegaskan oleh salah satu ucapan sang penulis “Down with love? Just eat some chocolate, forget the man, and take control of your own life”. Adalah Barbara Novak (Renee Zalweger), sang penulis yang lalu menjadi sangat terkenal karena keberhasilan bukunya menembus best seller,  yang menjadi tokoh sentral film ini. Cerita semakin menarik dengan kehadiran seorang jurnalis beken, tampan sekaligus playboy, Catcher Block (Ewan McGregor). Keduannya bertentangan dan saling bersaing. Untuk ‘memenangkan’ pertarungan, Catcher Block bermain muslihat dengan memainkan peran sebagai Zip Martin, seorang astronot yang jatuh cinta pada Barbara.  Dapatkah Barbara seorang pencetus ‘down with love’ ,yang menyebarkan isme bahwa wanita bisa bahagia tanpa pria dan tidak percaya akan cinta yang tulus, menahan godaan untuk tidak jatuh cinta pada seorang pria super tampan seperti Zip Martin?

Saya tidak akan berbicara panjang lebar tentang plot film ini. Biarkan saya bercerita mengenai apa yang membuat jatuh cinta setengah mati akan film satu ini. Saya jatuh cinta akan keindahan settingnya! Berkisah tentang kota New York di tahun 1960an, film ini memperhatikan setiap detail untuk menjadikan penontonnya merasa benar-benar berada di masa itu. Tepuk tangan paling meriah saya tujukan untuk Daniel Orlandi sebagai costume designer! Menakjubkan, selama 101 menit kita akan ditemani oleh para pria dan wanita dengan pakaian era 60an yang menawan. Daniel mengedepankan model yang beken era itu, pakaian berpotongan tailored yang preppy dengan penggunaan warna solid yang dominan.

Mari kita kaji lebih dalam lagi.

Scene ini memperlihatkan sang penulis Barbara di tengah kota New York. Lihat pakaiannya, semi blazer pink dengan motif kotak. Potongannya sangat rapih. Perpaduan warna pink dan putih menimbulkan kesan manis dan ceria. Pemakaian kerah dan aksen saku berwarna putih memberikan kesan keseragaman dengan pemakaian topi sang tokoh.


Adegan paling saya suka. Menampilkan dua wanita dengan selera fashion yang luar biasa. Dress houndstooth (kotak kotak hitam-putih) dipadu dengan coat warna kuning solid yang menarik perhatian, dan teman satunya menggunakan motif yang sama persis dengan penerapan sebaliknya. Jenius.

Ingin menarik perhatian? Jubah (?) ini bisa menjadi pilihan, dari bahan raw silk yang mengkilap dan warna yang mencolok, tentu Anda akan menjadi pusat perhatian dimanapun.

Jangan sirik hei para pria! Kalian juga bisa bergaya di film ini. LIhat Ewan McGragor makin tampan dengan sweater merah dan celana bahannya. Makin vintage dangan kacamata besar frame hitam.

Tetap manly dengan jas mengkilap biru tua dan dasi garis yang manis. Serasi dengan Renee dengan sequin dress ungunya yang sangat glamor.

Hebatnya lagi, bukan hanya sang tokoh utama yang mendapatkan baju yang manis. Bahkan pramugari ini pun dipakaikan pakaian yang manis dengan sepatu platform putih yang mencolok.

Ah…masih banyak kostum lainnya yang membuat saya berdecak kagum. Untuk saya penggangum fashion (apalagi pakaian vintage!!) jelas film ini adalah film yang tidak boleh terlewat! Untuk Anda yang tidak terlalu peduli dengan kostum, film ini juga layak Anda tonton. Setting yang indah, akting yang baik, lagu yang bagus, dan cerita yang ringan, down with love dapat Anda jadikan salah satu film favorit Anda 🙂 .

Selasa, 14 September 2010. 15:35





Piano. Itu yang terlihat menonjol dalam sampul depan dvd yang saya beli. Tanpa banyak berpikir saya segera membeli dvd tersebut. Harapan saya, film tersebut akan menyuguhkan komposisi-komposisi indah penuh cahaya khas orchestra layaknya film Nodame Contabile. Ternyata harapan saya segera pupus sejak menit pertama.

Tokyo Sonata menggambarkan kehidupan sebuah keluarga Jepang yang berdomisili di Tokyo terdiri dari sang Ayah, Ryuhei Sasaki (Teruyuki Kagawa), sang Ibu, Megumi Sasaki (Kyoko Kouzumi), sang Kakak, Takashi Sasaki (Yu Koyanagi) dan sang Adik,  Kenji Sasaki (Inokawa Kai). Film ini dibuka dengan keadaan kelam , sang ayah yang menjadi tulang punggung keluarga harus mengalami pemecatan di kantornya. Sang ayah segera merasa depresi, pada saat itu memang tak mudah lagi mendapatkan pekerjaan yang layak. Dengan kemampuan yang tidak terlalu special, ia harus saling berebut mendapatkan pekerjaan dengan beribu orang lainnya. Tapi ditengah penggangurannya itu sang ayah tetap ‘bekerja’ setiap hari. Ia mengenakan jas, lengkap dengan dasinya, berpura pergi ke kantor dan  berdiam di tempat pembagian makan gratis. Ironis.

Seolah kemalangan begitu mencintai keluarga Sasaki, penderitaan mereka bukan hanya ditanggung sang Ayah. Sang putra sulung juga tengah mengalami kesulitan dalam pencarian kerja, ia memilih untuk pergi ke medan perang sebagai tentara Amerika. Sang adik juga tidak kalah naasnya, ia harus menerima kenyataan kesukaannya untuk bermain piano ditentang habis oleh sang Ayah. Bagaimana dengan sang Ibu? Menurut saya dialah tokoh yang paling menderita. Ia harus menerima kombinasi kesedihan dari sang Ayah, sang  sulung sekaligus si bungsu.

Lalu film pun bertutur pelan. Hebatnya, walaupun plot cerita sangat pelan saya tidak merasa terlalu bosan karena cerita yang disuguhkan sangat menarik dan tidak tertebak. Cerita yang disuguhkan sangat bergejolak dan mampu memainkan emosi penonton. Depresi dan rasa sedih dari setiap tokoh tersampaikan dengan sempurna, jujur saat saya menontonnya saya jadi ikut-ikutan gemas dan tanpa sadar mengigit-gigit kuku tanda frustasi.

Kekuatan film ini terletak dalam kedalaman emosi yang disampaikan masing-masing tokoh. Semua kejadian naas yang dialami setiap tokoh berbaur dengan sempurna tanpa ada yang nampak bias dan terlupa. Mungkin awalnya Anda akan merasa ikut depresi dikala menonton karya ini. Tapi jangan segera menekan tombol Stop lalu berhenti menonton. Ending dalam fim ini jelas suatu mahakarya. Lagi-lagi saya harus jujur bahwa saya menangis saat sence terakhir menghadirkan komposisi permainan piano yang begitu kelam dan sedih. Karya yang istimewa menurut saya pribadi. Acungan jempol untuk Kiyoshi Kurosawa sang sutradara.

Satu pelajaran paling bermakna yang saya dapat setelah menonton film ini adalah, bahwa seterpuruk dan sesedih apapun kita, janganlah mudah menyerah. Senaas apapun kejadian yang kita alami, kita selalu memiliki tujuan pulang yaitu rumah. Perhatikan adegan setiap tokoh dalam memasuki rumah, mereka tak lupa untuk mengucapkan ‘Tadaima’ (I’m home). Film ini berhasil meyakinkan saya akan sebuah analogi ‘Selalu ada pelangi setelah hujan lebat’.

Kamis, 9 September 2010. 04:58

Monica Bellucci, wanita yang berhasil membuat saya kabur untuk menonton hingga selsai Irreversible. Gadis Pegasus dimata saya. Indah, langka, misterius, menampakan ketegasan sekaligus rapuh. Kompleks itulah Belluci. Saya cukup penasaran dengan dirinya sehingga ketika menemukan film The Man Who Loves (L’uomo che ama) yang diperankan olehnya saya tak ragu untuk membelinya.

The Man Who Loves, berfokus pada kisah cinta Roberto (Pierfrancesco Favino) seorang apoteker macho dengan jambang dan kumis yang lebat. Roberto dikisahkan tengah menjalani hubungan dengan seorang gadis cantik berambut merah Sara ( Ksenia Rappoport). Kehidupan cintanya tidaklah terlalu indah, apalagi ketika Roberto membandingkan dengan kisah cinta sang adik, Carlo (Michele Alhaique) . Carlo adalah seorang pria yang menjalani kisah cinta dengan seorang pria lainnya. Walaupun cintanya tidak umum, namun kisah cinta Carlo dan Yuri (kekasih Carlo yang dimainkan oleh Glen Blackhall) adalah kisah cinta yang hangat dan manis. Kisah terus bergulir, Roberto mulai kehilangna kepercayaan terhadap Sara. Tapi itulah cinta, makhluk paling keras kepala di dunia. Sedalam apapun ia dilukai ia tak kunjung hilang, tetap berdiam di sudut hati minta diperhatikan. Cinta milik Roberto pada Sara adalah jenis cinta yang paling keras kepala, ia tetap teguh minta diperjuangkan padahal telah terhianati. Lagi-lagi cinta yang keras kepala ini tak mampu mendapatkan apa yang ia inginkan. Cinta lainnya (milik Sara) bukan lagi miliknya. Roberto ditinggalkan, sendirian, kesepian. Sepi, sepi, sepi, lalu muncullah cinta baru berupa sosok Alba (Monica Belluci). Mampukah cinta baru ini terus tumbuh berkembang, mengisi jiwa Roberto yang kesepian? Baca entri selengkapnya »

A story about two strangers. One a little stranger than the other

Saya pertama kali membaca tagline tersebut terpampang di cover dvd yang memuat seorang pria dan wanita yang tengah rebah. Sang wanita tersenyum sembari memandang sang lelaki dan sang lelaki dengan mata hijau indah menatap tepat kearah saya. Luar biasa, entah kenapa cover tersebut seakan memiliki magnet yang membuat saya berhenti sejenak dan mengamatinya. Untuk saya pribadi cover tersebut secara tidak langsung telah menceritakan gambaran film Adam. Hugh Dancy dengan tatapan kosong dan wajah datar, Rose Byrne dengan senyum lebar penuh ketulusan menatap Hugh Dancy. Menarik. Saya langsung membawa dvd tersebut ketumpukan dvd yang hendak saya beli.

Dari sekian banyak dvd yang saya beli saya memilih Adam sebagai film yang pertama saya tonton. Luar biasa, lagi-lagi saya seperti tercerahkan ketika menatap opening film tersebut yang ternyata berkaitan dengann luar angkasa dan ASTRONOT (cita-cita saya sejak kecil) ! Saya begitu bersemangat hingga nampaknya kiamat datang saat dvd mengalami kemacetan di menit ke-3. Rasanya ingin mengamuk saat itu juga. Singkat cerita datanglah dvd ke-2, kali ini dengan cover berbeda yang sebenarnya tidak lebih bagus dari yang pertama. Tidak penting cover ke-2 ayo lekas mainkan film! Ternyata malang tak bisa ditolak, dvd ke-2 macet di menit ke-14. WHAT?!. Dvd ke-3 datang, saya benar-benar dibuat penasaran dengan film satu ini. Bagaimana bisa rusak 2 kali? Ternyata film ini belum berhenti memberi saya kejutan. Dvd ke-3 juga macet dimenit ke-5. How dare you Adam! Tapi untung lah ada teknologi berjudul fast forward, dari menit ke-10 dvd kembali bermain lancar. Film pun dimulai… Baca entri selengkapnya »

tulisan ini saya tujukan untuk teman saya yang meminta saran dalam menulis review

Senin, 31 mei lalu saya mendapat sms untuk membaca reviewnya di salah satu jejaring sosial (http://nailazahra.tumblr.com/post/644179327/prince-of-persia-the-sands-of-time-2010) yang saya tunda pengeksekusiannya hingga tanggal 2 juni karena koneksi internet saya saat itu tengah buruk.

Jadi untuk meminta maaf untuk keterlambatan tersebut, izinkan saya untuk menulis komen dan saran untuknya menjadi arsip abadi dalam blog ini. spesial. hha Baca entri selengkapnya »

Annisa: Kenapa Tuhan menciptakan kita berbeda-beda bila Tuhan harus disembah dengan satu cara?
Cina: Makanya Tuhan menciptakan Cinta, supaya yang berbeda-beda bisa tetap satu.

Sepotong dialog cerdas yang pastinya selalu terngiang bagi siapa saja yang pernah menonton film cin(T)a. Berkisah tentang Cina (Sunny Soon), mahasiswa keturunan cina yang taat beragama Kristen  dan Annisa (Saira Jihan), seorang gadis Jawa beragama Islam yang cantik jelita. Keduanya dipertemukan takdir ketika sama-sama menjadi mahasiswa jurusan arsitektur. Cerita bergulir ketika Annisa gadis kesepian dan bertemankan jari ‘bermuka’ buatannya sendiri bertemu dengan jari lain yang siap menemani dan mentaukan diri didekatnya. Tapi mampukah mereka saling mencinta ketika mereka memanggil Tuhan dengan panggilan berbeda? Baca entri selengkapnya »


“Rise, and rise again. Until lambs become lions.”

Robin Longstrid (Russell Crowe) adalah seorang pemanah dari pasukan Inggris yang tengah berperang dengan Perancis untuk memperebutkan daerah kekuasaan. Nasibnya yang hanya sebagai ‘pemanah biasa’ sekejap berubah drastis ketika sang raja yang dikenal sebagai ‘King Richard The Lionheart’ (Danny Huston) tumbang di medan pertempuran. Seolah digiring takdir, Robin dan ketiga sahabatnya bertemu dengan Robert Locksley yang tengah sekarat dalam perjalanannya membawa mahkota raja. Kematian Robert membuat Robin kini dibebani tugas untuk membawa mahkota raja kembali ke kerajaan di Inggris dan mengembalikan pedang Robert kepada ayahnya di Nottingham. Petualangan Robin pun dimulai. Mampukah ia mengembalikan pedang tersebut? Mampukah ia mendapatkan kisah masa lalunya yang terhapus?

Jujur saya adalah tipe orang yang apabila menonton film lebih suka untuk tidak tahu menahu tentang film itu. Hal ini bertujuan agar saya mampu berfokus hanya pada film agar mengerti keseluruhan cerita. Awalnya saya kira Robin Hood versi Ridley Scott akan berkisah mengenai Robin Hood versi buku cerita anak anak. Mengenai ‘penjahat budiman’ yang mencuri harta dari orang kaya demi kesejahteraan rakyat. Nyatanya Robin Hood versi Ridley Scott mengisahkan asal muasal Robin Hood yang ternyata ikut berperan besar atas kemenangan Inggris melawan Perancis. Tapi sungguh saya tidak kecewa. Lagi-lagi kombinasi Ridley Scott dan Russell Crowe membuat saya ternganga setelah beberapa tahun yang lalu mereka mempersembahkan mahakarya berjudul Gladiator. Baca entri selengkapnya »

Hal yang pertama yang terbesit dalam pikiran saya adalah pemilihan nama sang tokoh utama yang juga dijadikan sebagai judul film ini. Coraline. Mengutip kata-kata yang diucapkan Wybie Lovat (salah satu tokoh dalam film ini) ’ Hm. It’s not real scientific, but I heard an ordinary name like Caroline can lead people to have ordinary expectations about a person.’ Mungkin itu memang tujuan dipilihnya nama Coraline dibandingkan Caroline yang jauh lebih populis. Menjadikan film Coraline tidak hanya menjadi film animasi ‘biasa’ namun menjadi film ini mampu melebihi ekspektasi para penikmatnya.

Berkisah tentang Coraline, gadis berambut biru dengan pita capung,  jas hujan dan sepatu boot kuningnya yang mudah diingat – anyway I am really in love with her yellow swampers and raincoat – yang baru saja menjalani kehidupan barunya di ‘pink house apartment’. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya yang tengah sibuk mengerjakan sebuah buku untuk diterbitkan. Ditinggal sibuk kedua orangtuanya, Coraline mencari kesibukan baru dengan mengunjungi penghuni lain dari pink house apartment yang ‘ganjil’. Seorang pemain sirkus dengan badan biru dan dua wanita pemain opera dengan proporsi badan yang tidak sesuai. Petualangan dimulai ketika Coraline menemukan sebuah pintu kecil pada dinding rumahnya. Keajaiban terjadi ketika pintu tersebut terbuka dan menghubungkannya dengan dunia lain. Dunia lain yang jauh lebih sempurna. Kedua orangtua yang sangat memperhatikan, taman yang indah dan tetangga-tetangga yang menyenangkan. Tapi maukah Coraline menganti kenyamanan tersebut dengan meninggalkan orang tua aslinya? Baca entri selengkapnya »

bidikan

mari bicara lewat kata